Awan
gelap yang menghiasi langit mulai merapat, setitik air perlahan jatuh satu
persatu. Membuat kecemasan sebagian orang. Kecemasan itu juga yang menghampiri
Hawa, gadis manis itu berlari mencari tempat tuk berlindung dari tetesan air
hujan. Ia berlari kecil dan melindungi tangannya dengan kedua tanggannya.
Dengan sangat tergesa-gesanya sampai ia tak sadar di depannya berdiri seorang
lelaki tegap. Dan seketika itu tubuh Hawa jatuh, setelah benturan kecil terjadi
antara Hawa dan lelaki itu.
Hawa
tersungkur, “Aw…!” eluhnya.
Dengan
sigap lelaki itu pun menolong Hawa, ia mengulurkan tangannya, dan hawa hanya
menatapnya, tanpa menyambut uluran tangan lelaki itu. Hawa berdiri kemudian ia
berlalu tanpa mengucap satu kata pun.
“Cewek
aneh!” gerutu lelaki itu. Dan ia menjalani aktifitasnya kembali.
Dua
hari kemudian Hawa berjalan dengan santai sambil mendendangkan sebuah lagu,
ketika ia akan melewati tikungan ia hampir bertabrakan lagi dengan seseorang.
Hawa memandangi lelaki itu sepertinya ia pernah bertemu, memori pikirannya
seketika itu berputar. Ya, ia adalah lelaki yang ia tabrak.
Lelaki
itu tersenyum. “Hai… mau menabrakku lagi?”
Hawa
tersenyum kecut, “Maaf!”
“Johan,”
lelaki itu mengulurkan tangannya.
“Hawa…”
sambut Hawa, dengan menjabat tangan lelaki itu.
“Kamu
kulia di sana?” Johan menunjuk sebuah universitas yang tak jauh dari tempat
mereka.
“Ya,
kamu juga kulia disana?” Tanya Hawa.
“Tepat,
aku masuk falkutas hukum.”
“Pantas,
aku tak pernah melihat kamu, aku ambil kedokteran.”
“Kita
ngobrol di kafe yuk, itung-itung aku minta maaf ama kamu. Itu pun kalo kamu ada
waktu.” Ajak Johan.
“Tapi
maaf, aku sebentar lagi ada kelas, gini aja berapa nomor HP kamu nanti aku
hubungi, kan yang salah aku jadi harusnya aku yang traktir kamu.”
Johan
tersenyum, “Ya sudah, nggak apa-apa. Kamu jalan ge sana.” Dan ia beranjak
pergi.
“Loh?
Kug kamu pergi siy, marah ya? Berapa nomor HP kamu?” Tanya Hawa dengan
terheran-heran.
“Aku
nggak marah, kalau kita jodoh pasti kita bertemu lagi.” Teriak Johan dari
kejauhan.
“Kalau
kita jodoh pasti kita ketemu lagi.” Ulang Hawa dengan beribu tanya di benaknya.
Ia pun berlalu melenggang dengan santai di jalan.
Sehari,
seminggu dan sebulan…. Hawa tak pernah berjumpa dengan Johan. Dalam hati kecil
keduanya sebenarnya mengharap tuk dipertemukan. Dan hari yang mereka
anggan-anggankan pun terjadi. Tepat di acara ulang tahun kampus tempat mereka
kuliah, mereka di pertemukan kembali oleh takdir.
“Hawa…?”
sapa Johan.
“Jo…
Johan, hai.” Hawa senang sekaligus terkejut mendapati Johan ada di
disampingnya.
“Jalan
yuk disini berisik.” Ajak Johan.
“Okey.”
Dari
sana mereka makan di café tak jauh dari kampus, hari itu banyak sekali yang
mereka bicarakan. Rupanya mereka punya pikiran sejalan, mereka bercerita
tentang cita-cita mereka kelak, dan satu sama lain saling mendukung.
Perlahan
benih-benih cinta muncul di antara mereka, dan kisah percintaan mereka seindah
cerita di dalam novel romantic atau telenovela. Hampir tiap harinya mereka
lewati berdua, Johan sering main ke tempat Hawa kost. Rupanya cinta suci di
antara mereka tak sanggup untuk melawan hawa nafsu diri mereka. Dan sekarang
dalam perut Hawa tumbuh buah cinta dari Johan.
Fajar
yang indah tak sanggup mempesona diri Hawa dan Johan, kini mereka di hinggapi
rasa takut, tak ada tawa dan canda seperti biasanya. Semuanya diam membisu.
Gurat kecemasan sangat ketara di wajah mereka.
“Sekarang
aku harus bagaimana?” Tanya Hawa kepada Johan memecahkan keheningan di antara
mereka. Tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Johan. “Kita harus menikah.”
Sambung Hawa.
“Menikah?
Tidak sekarang,” jawab Johan.
“Lalu
kapan? Kapan? Apa sampai perutku ini membesar dan bayi ini lahir?” Hawa mulai
emosi.
“Aku
masih sekolah, dan setelah ini juga aku akan langsung meneruskan S-2 ku di luar
negeri. Aku ingin menjadi politisi hebat Hawa, kau tahukan itu. Dan kau,
bukannya kau ingin menjadi seorang dokter? Tinggal dua tahun lagi kau akan
menjadi dokter, dan aku juga akan menata karirku, ini semua juga demi kebaikan
kita bersama Hawa. Untuk masa depan aku dan kamu.” Keduanya terdiam, “Kamu
lakukan aborsi saja!” sambung Johan.”
“Apa?
Aborsi katamu? Tidak aku tidak mau aborsi. Baik kalau memang buatmu karirmu
lebih penting aku tak akan pernah datang dan menghambat karirmu.” Tegas Hawa.
Ia mulai berdiri hendak meninggalkan Johan.
“Hawa…
kita bicarakan ini semua baik-baik.” Johan menahan Hawa.
“Apa
lagi yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. KAU TAK MENGINGINKAN ANAK
INI..!!!”
“Bukan
itu maksudku, tapi sekarang keadaannya tidak tepat Hawa. Aku sangat mencintamu,
tapi aku juga ingin menata masa depanku Hawa.”
“Silahkan
kau menata masa depanmu, aku tak akan menghalangimu.” Dengan kesal Hawa
meninggalkan Johan dalam kesendiriannya.
“Hawa…
Hawa… Hawa…!” teriak Johan sekeras-kerasnya namun Hawa tak sedikitpun menoleh
kepada Johan.
Hilang…
itulah yang dirasakan Johan semua kini terasa hampa. Hawa menghilang entah
kemana. Berhari-hari Johan mencari keberadaan Hawa tak satupun orang tahu
dimana Hawa berada. Johan merasa bersalah dan sangat menyesal. Tapi semua itu
sudah menjadi pilihannya.
Hawa
pulang kerumah orang tuanya, ada rasa takut yang teramat besar hinggap di
dirinya, Hawa sangat sayang kepada ibunya karena memang hanya ibunya lah orang
tua Hawa satu-satunya. Ayah Hawa meninggalkan Hawa ketika ia masih berumur dua
tahun. Bahkan mungkin wajah ayahnya pun tidak ia ingat.
Dengan
segenap keberanian yang ia miliki, Hawa mencoba bercerita tentang keadaannya
saat ini, ia menceritakan semua kejadian yang ia lakukan bersama Johan, tentu
hati ibu siapa yang tak hancur mendengar kabar bahwa anaknya hamil di luar
nikah.
“Kau
menginginkannya atau tidak?” Tanya ibu Hawa. Hawa hanya menangis. “Kau
menginginkan anak itu apa tidak?” ulang Ibu Hawa.
“Aku
masih ingin melanjutkan sekolahku bu, aku ingin menjadi dokter.” Jawab Hawa.
“Kau
menginginkannya apa tidak.” Tegas ibu Hawa.
“Aku…
aku… aku tidak bisa bu, aku masih ingin mengejar impianku.” Isak tangis Hawa
semakin kencang.
“Yang
ibu tanya kau mengingikannya atau tidak?”
“Aku
tidak yakin aku bisa membesarkannya seorang diri bu.”
“Lihat
ibu nak, ibu bisa membesarkan kau seorang diri tanpa ayahmu. Saat kau berusia
dua tahun ayahmu meninggalkan ibu demi wanita lain. Dan saat itu juga ibu telah
bertekad tuk membesarkan kau seorang diri dan kau lihat sekarang, ibu bisa
membesarkanmu, kau harus yakin. Ada ibu yang akan menjagamu dan cucu ibu.”
Dengan berlinang air mata ibu Hawa memeluk anaknya.
Hawa
membenarkan ucapan ibunya, kini ia bertekad akan mempertahankan buah hatinya
dan membesarkannya seorang diri. Malam harinya Hawa menghubungi Johan.
Terdengar suara sambungan ke nomor Johan.
“Hallo…”
terdengar suara Johan di seberang sana.
“Johan..”
Hawa memanggilnya.
“Hawa…
kemana saja kau, aku mencarimu. Aku ingin berbicara denganmu, aku ingin bertemu
denganmu.” Sangat jelas kecemasan Johan lewat suaranya.
“Lanjutkan
mimpimu, aku tak kan menghalangi mimpimu lagi.”
“Tidak
Hawa, aku ingin bertemu denganmu.”
“Aku
akan menemuimu, jika nanti kau menjadi seorang pejabat yang sukses, aku yakin
kau bisa.” Hawa langsung menutup telponnya. Ia menangis dalam kesendiriannya.
Hamil
tanpa suami, itu tak mudah, Hawa harus mendapati gunjingan setiap orang, ia
harus merasakan penderitaan itu seorang diri, semua orang mengangapnya sebagai
cewek murahan.
Senista
itukah wanita? Kenapa hanya wanita yang dianggap murahan? Apa pernah mereka
memandang lelaki yang telah mengahamili seorang perempuan sebagai lelaki
murahan, tentu tidak, hanya wanitalah yang di anggap murahan, tak punya harga
diri, tak tahu malu, cewek gatel. Dan yang pada akhirnya wanita lah yang paling
menderita.
Hawa
tak menghiraukan semua itu ia terus berlalu mendengan gunjingan dari semua
orang tentang dirinya. Ia terus melanjutkan studynya, ibunya selalu ada buat
Hawa dan mendukung Hawa, sehingga Hawa seperti mendapat suntikan enegi dari sang
ibu. Tak terasa hari yang dinanti itupun tiba. Hawa melahirkan, dan kini ia
menjadi seorang ibu.
“Nyonya
ini anak anda.” Seorang suster mendekati Hawa dan memberikan seorang bayi yang
di bungkus rapat dengan kain berwarna merah mudah. “Anaknya cantik seperti
nyonya. “Lanjut sester tersebut.
“Terima
kasih sus.” Hawa menimang buah hatinya. Ia memandangi wajah bayi itu. Ada
sebuah perasaan yang menggetarkan hatinya meliat bayi itu. Mata yang di miliki
bayi itu persis seperti mata Johan.
“Mau
kau beri nama siapa anak ini?” Tanya ibunya.
“Jihan…!”
“Nama
yang bagus.”
*
* *
Hawa kini telah menjadi seorang ibu dan
usia Jihan sudah beranjak dua tahun, Hawa merasa bahagia karena diberikan
seorang anak seperti Jihan, anak yang seperti malaikat. Hari-hari Jihan dihabiskan
bersama neneknya jika Hawa sedang bekerja tak jarang juga Hawa mengajak Jihan
jalan-jalan bersama ibunya. Namun kebahagiaan Hawa tak lama karena ia mendapati
kejanggalan pada diri Jihan. Ia pun memeriksa keadaan Jihan lebih dalam lagi.
Kangker? Jawaban itu yang ia dapati.
Merasa tidak yakin dengan hasil tesnya
sendiri, ia memeriksakan Jihan ke dokter spesialis. Dan hasil yang lebih
mengejutkan pun ia dapati.
“Anak anda terserang Leukemia limfositik akut (LLA). Merupakan tipe leukemia
paling sering terjadi pada anak-anak. Anda tentu paham kan?” Dokter Erik
memberikan pengertian kepada Hawa. “Di kasus ini Penderita Down Syndrom
memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal. Anak
anda tidak bisa bertahan lama, anak kecil yang mengidap penyakit ini tidak bisa
bertahan sampai dua belas tahun.”
Mendengar
pernyataan itu Hawa merasa tubuhnya sangat lemas. Ia ingin berteriak
sekencang-kecangnya. Tapi ia sadar untuk apa ia berteriak toh semua itu tak
bisa membuat buah hatinya terbebas dari penyakit yang mematikan.
* * *
Sepuluh tahun kemudian…
“Jihan ayo makan sayang!” bujuk
neneknya.
Jihan menutup selimutnya. “Aku nggak
mau makan itu. Itu nggak enak aku mau yang pedas.” Renggek Jihan.
“Ayo Jihan, makan, ini enak.” Bujuk
neneknya untuk yang kesekian kalinya.
Sampai ibunya pulang Jihan tetep
tidak mau makan.
“Hawa, Jihan tak mau makan.” Ibunya
mengadu kepada Hawa. Hawa mendekati anaknya.
“Jihan, ini enak, lihat ibu.” Hawa
memakan bubur buatan ibunya yang memang makanan itu hanya untuk orang sakit dan
rasanya hambar. “Enak, bu ambilkan satu mangkok untukku.” Pinta Hawa. “Ayo
makan sayang ini benar-benar enak.”
“Tidak ma… Jihan nggak mau makan.
Jihan Cuma mau makan ayam goreng. Cepat ambilkan nek. Atau Jihan ngamuk.”
Hawa mengetahui jika emosi Jihan
bisa mempengaruhi kesehatannya maka Hawa pun mengiyakan permintaan Jihan, yang
sebenarnya buruk juga bagi kesehatannya.
“Ini…” neneknya memberi
sepiring nasi dengan ayam dan sausnya.
Hawa hanya dapat melihat makanan itu
ada di pangkuan putri tercintanya. Jihan mulai untuk mengangkat sendoknya dan
akan memasukkannya kedalam mulutnya, itu adalah pemandangan paling meyiksa bagi
Hawa. Tapi tiba-tiba sendok itu berada di depan mulut Hawa.
“AAkkkk… ayo mama makan. Buka mulut
mama.” Jihan menyuapi Hawa. Hawa pun membuka mulutnya dan menguyah nasi dari
tangan anaknya. “Jihan akan makan buburnya, dan mama makan nasinya.” Jihan
mengambil bubur dari tangan mamanya dan menukarnya dengan nasi dan ayam dalam
piring Jihan. “Bubur ini kan makanan rumah sakit dan hanya orang sakit yang
makan bubur ini. Kenapa mama berkoban untukku, kenapa mama selalu makan bubur
ini dan bilang enak? Padahal buburnya sama sekali nggak enak, Jihan nggak mau
lihat mama seperti ini. Jihan janji Jihan akan makan bubur kok ma.” Mendengar
perkataan ankanya Hawa menitikan air mata, dan ia cepat keluar dari kamar
Jihan. Hawa tidak ingin Jihan melihat air matanya.
Di pagi yang cerah, Jihan
berdebar-debar, karena hari ini adalah hari pengumuman siapa yang akan menerima
juara atas lomba karya ilmiah. Jihan masuk sepuluh besar.
“Ma, doain Jihan ya biar menang?”
ucapnya setelah berpamitan.
“Iya sayang, doa mama selalu
bersamamu.” Jawab Hawa. Teman-teman Jihan datang dan dengan senang hati mendorong
kursi roda Jihan, sejak setengah tahun lalu Jihan telah mengalami kelumpuhan,
ia harus duduk di kursi roda dan yang paling menyedihkan adalah rambutnya
mengalami kerontokan hingga sekarang kepala Jihan botak.
Johan kini telah menjadi anggota DPR
yang tengah naik daun, namanya di eluh-eluhkan sebagai calon Presiden
berikutnya. Dan hari ini menghadiri acara di sekolah SD Harapan Baru. Yang
kebetulan adalah sekolah Jihan.
“Dan juara satu untuk lomba karya
ilmiah ini adalah… Jihan Pratiwi.” Ucap Johan.
Jihan tersenyum, teman-temannya
memberikan semangat untuknya, dan salah satu temannya membantunya maju ke depan
dengan kursi rodanya. Johan terpanah melihat Jihan. Mendapati keadaan Jihan
yang tampak tak berdaya namun tetap bersemangat menjalani hidupnya.
Johan menyerahkan
pialanyanya,”Selamat ya!” ucapnya.
“Terima kasih Pak!” Jihat tersenyum.
Diruang kepala sekolah Johan meminta
untuk bertemu dengan Jihan, tak lama kemudian Jihan datang. Johan masih
terperangah dengan keadaan Jihan.
“Ada apa pak, anda memanggil saya?”
ucap Jihan.
“Saya ingin memberi hadiah untukmu,
katakana apa yang kau inginkan?” tawar Johan.
“Untuk saat ini aku belum ingin
sesuatu, aku pikir-pikir lagi ya hadiah apa yang akan aku minta dari anda.”
Jawab Jihan.
Johan tersenyum, “Baik kalau begitu
saya harus pergi.” Pamit Johan. “Saya tunggu jawaban kamu.” Sambil tersenyum.
Ia melangkah pergi keluar ruangan.
“Pak, mau menjadi temanku?” Kata
Jihan. Johan menoleh, dan mengangukkan kepalanya. Jihan membalasnya dengan
senyuman. Johan adalah idola Jihan karena menurutnya Johan berbeda dengan para
politisi yang lain, ia pintar dan merakyat.
Malam harinya Jihan belum tidur
juga, akhirnya ia memutuskan untuk membuka facebook dan menghubungi Johan. Lalu
ia mulai mengetik.
Hai, teman. (Jihan)
Hai, juga teman. (Johan)
Aku sudah memutuskan hadiah yang
akan aku minta.
(Jihan)
Sebutkanlah. (Johan)
Aku males ngetik pake webcam aja ya
teman.(Jihan)
Johan dan Jihan mulai online menggunakan
webcam.
“Sebutkanlah apa yang kau mau.” Kata
Johan.
“Baik, Jihan ingin pergi seharian
bersama bapak.” Jawab Jihan.
“Tapi kemana?” Johat terlihat agak
bingung.
“Terserah bapak. Kapan bapak bisa
jalan-jalan?” Tanya Jihan.
Di
tengah pembicaraan antara Jihan dan Johan, Hawa bermaksud untuk memberi Jihan
susu, ia memanggil anaknya itu. Dan seperti di sengat oleh petir, karena Hawa
mendapati Jihan berbicara di wabcam bersama Johan, ayah kandungnya. Untung Hawa
belum menampakkan dirinya di kamera, sehingga Johan masih tidak mengetahui jika
Jihan adalah anak Hawa dari buah cinta bersama Johan.
“Baik
sepakat ya tanggal 25.” Ucap Jihan. “Aku ngantuk, udahan dulu ya teman!” lanjut
Jihan. Jihan mematikan komputernya dan masuk ke kamar. Hawa menyusulnya.
“Minum
susu dulu sayang.” Hawa membawa segelas susu untuk Jihan.
“Ya,
ma.” Jawab Jihan.
“Jihan
tadi bicara dengan siapa?” Tanya Hawa.
“Dengan Pak Johan. Tadi di sekolah,
Jihan menang lomba ma. Dan yang memberikan pialanya adalah pak Johan. Nggak
salah Jihan mengidolakan pak Johan karena selain dia baik, pintar, dia juga
tampan ma. Kira-kira papa Jihan, tampan seperti pak Johan tidak ma?”
Hawa menahan air matanya. “Jihan
tidur ya. Sudah malam. Good nite!” Hawa mencium kening Jihan. Kemudian berbalik
dan keluar dari kamar Jihan.
Di kamar, Hawa menangis, hatinya
seperti teriris, gambaran masa lalupun kini terbayang lagi dimatanya setelah
sekian tahun ia menguburnya dalam-dalam. Tanpa ia sadari ibunya masuk ke dalam
kamar Hawa.
“Sudah saatnya kau harus jujur.” Ibu
Hawa angkat bicara.
“Untuk apa bu? Ia tak pernah
menginginkan Jihan. Percuma juga Hawa harus jujur kepada Jihan tentang siapa
ayahnya, itu hanya melukai hatinya saja bu.” Dengan air mata yang tengah
mengalir Hawa menentang perkataan dari ibunya.
“Kamu tak bisa membohonginya seperti
ini, ingat Jihan tak bisa bertahan lama. Kamu mau seumur hidup Jihan tak
mengenal ayahnya? Nak kamu sudah dewasa, kesampingkan ego dan sakit hatimu demi
anakmu sendiri, demi Jihan.”
“Bu, Johan tak pernah menginginkan
adanya Jihan. Dan seandainya aku memberi tahu Jihan tentang semuanya lalu ia
minta bertemu dengan ayahnya. Dan Johan tak mengakui Jihan, coba ibu pikir
bagaimana perasaan Jihan Bu!” kini isak tangis bertambah keras.
Tanpa mereka sadari semua percakapan
yang terjadi antara Hawa dan ibunya, semua di dengar oleh Jihan. Dan kini ia
tahu semua rahasia yang disimpan rapat oleh nenek dan ibunya.
* * *
Jihan bangun lebih pagi dari
biasanya, Karena ia hari ini telah akan menghabiskan waktu bersama Pak Johan,
ayah kandungnya. Semua telah ia persiapkan. Ia pun kini tengah menikmati
sarapan bersama ibu dan neneknya.
“Jihan, hari ini kenapa kamu nggak
berpakaian seragam nak?” Tanya Hawa.
“Hari ini Jihan tidak masuk sekolah
ma, Jihan akan jalan-jalan bersama pak Johan.” Jawab Jihan polos.
“Tidak, kamu harus tetap sekolah.”
Perkataan Hawa sedikit marah.
“Biarlah, biar Jihan bisa
menyegarkan pikirannya Hawa. Ijinkan dia untuk pergi.” Sahut ibu Hawa.
“Bener nek.!” Jihan tampak
kegiragan.
“Tapi bu…” protes Hawa.
“Sudahlah, percaya dengan ibu.” Ibu
Hawa meyakinkannya.
Hawa akhirnya menyerah. Ia mulai
duduk santai di meja makan dan mengabil, sepotong roti lalu ia olesi dengan
selai coklat.
“Ma, menurut mama pak Johan Ganteng
tidak?” Tanya Jihan kepada Hawa.
“Biasa.” Jawab Hawa singakat.
“Jihan suka dengan pak Johan, mama
juga suka nggak?”
Hawa yang saat itu sedang mengunyah
roti menjadi tersedak.
“Ma… mama nggak apa-apa kan?” Tanya
Jihan yang cemas melihat keadaan mamanya.
Air muka Hawa seketika itu memerah.
Setelah ia minum air putih ia langsung berpamitan tuk pergi ke rumah sakit.
“Bu, titip Jihan.” Hawa pamit kepada
ibunya.
Satu jam kemudian Jihan di jemput
oleh pengawal Johan. Ia seharian itu diajak berkeliling mengunjungi banyak
tempat, Johan pun dengan senag hati rela menggendong Jihan. Semakin Johan
berlama-lama bersama Jihan ia semakin mengagumi Jihan, ia banyak belajar dari
Jihan. Ia merasa beruntung bisa bertemu Jihan, yang dapat mengubah pandangan hidupnya.
Sebelum pulang Johan mengajak Jihan untuk makan malam.
“Aku mau pesan es krim, dan makan
ayam bakar!” pinta Jihan.
“Maaf, bukannya kamu sakit?” Johan
mencoba mengingatkan Jihan.
“Tidak apa-apa, ini Jihan langsung
minum obat penawar jadi tidak aka nada masalah.” Jihan tersenyum.
“Begitu. Baiklah.”
“Bapak mau tahu tidak, aku tahu
sebuah kesalahan bapak di masa lalu?”
Johan terheran-heran mendengar
perkataan dari jihan. “Kesalan masa lalu? Apa kesalahanku katakan lah?”
“Wah…, rupanya makanannya sudah
matang, kita makan dulu yuk pak.” Ajak Jihan.
Johan pun mengiyakannya untuk makan
terlebih dahulu, selesai makan ia, bertanya lagi kepada Jihan tentang
kesalahnya, dan Jihan pun menghindar dengan alasan ‘nanti di mobil saja, bapak
kan orang terkenal nanti takut ada yang dengar bapak jadi malu,’. Sesampainya
di mobil Jihan tak berbicara sepatah katapun. Malah ia tertidur. Johan
melihatnya dengan iba, anak sekecil itu harus menanggung rasa sakit yang
teramat.
Johan dan Jihan sampai di rumah
Hawa. Johan memutuskan tuk mengendong Jihan, karena ia tak tega tuk
membangunkan Jihan, ia berjalan memasuki halaman rumah Hawa. Bel rumah
berbunyi, begitu pintu terbuka, terlihat jelas wajah Hawa di depan Johan. Ke
duanya terperangah sesaat.
“Hawa?” Johan kaget mendapati Hawa.
“Berikan Jihan padaku.” Pinta Hawa.
“Kamu, ini anak siapa?” Tanya Johan.
“Tak penting buatmu ini anak siapa?”
“Katakanlah!”
“Berikan dia padaku!”
“Katakan terlebih dahulu dia anak
siapa Hawa.”
“Ku mohon berikan ia padaku.”
Tiba-tiba tubuh Jihan mengalami kejang-kejang,
Johan dan Hawa panik, ia segera membawa Jihan ke rumah sakit, di tengah jalan,
Hawa menangis, ia sangat takut kehilangan anaknya. Ia takut kehilangan Jihan,
karena ia tahu Jihan tak kan bertahan lebih lama lagi. Jihan langsung masuk ke
IGD. Hawa tak bisa menghentikan air matanya. Ia berdoa terus menerus.
Tak lama dokter keluar dan
mengijinkan pihak keluarga untuk menemani pasien yang masih terbaring lemah.
“Jihan, bangun sayang, mama ada di
sini.” Hawa memegangi tangan Jihan. “Jihan… bangun sayang.” Wajah Hawa terlihat
sangat pilu, melihat anaknya terkulai lemas tak berdaya.
Johan hanya bisa terdiam melihat
Hawa menangis, karena ia tahu saat ini Hawa masih marah kepadanya, ia lebih
memilih diam dan hanya memperhatikannya dari jauh agar tidak memperburuk
keadaan. Beberapa menit kemudian, seorang dokter baruh baya masuk ke dalam
ruangan.
“Ibu Hawa, bisa ikut ke ruangan saya
sebentar?” kata dokter itu. Tanpa bicara apa pun Hawa langsung berdri dan
mengikuti langkah dokter itu.
Johan duduk di kursi samping pembaringan.
“Hai teman, bangunlah. Mamamu sangat mencemaskan keadaanmu.” Johan memegangi
tangan Jihan. Entah suatu keajaiban atau mukjizat, seketika itu jari-jari Jihan
bergerak dan perlahan ia sadar kembali. “Jihan, kamu sadar.”
Jihan melihat senyum Johan. “Mama,
mana?” Tanya Jihan.
“Mama sedang keluar sebentar, ada
apa?”
“Aku senang bapak ada disini.”
“Bapak juga senang bisa menemanimu.”
“Kesalahan bapak di masa lalu adalah
aku.”
“Apa?”
“Kesalahan bapak adalah aku.”
Entah perasaaan apa yang sedang menggelayuti
hati Johan di sisi lain ia senang bertemu dengan putrinya dan disisi lain ia
sedih mendapati putrinya terkapar tak berdaya.
“Berjanjilah satu hal denganku,
jangan bapak buat kesalahan tuk kedua kalinya, mama sangat mencintai bapak.”
Dengan sisa kelemahan yang ada Jihan bisa menggengam erat tangan Johan.
“Jihan… kamu tidak apa-apa kan.” Terlihat nenek Jihan yang
tampak cemas.
* * *
Karena
Johan merupakan salah satu anggota DPR yang sangat dikenal oleh publik maka
berita ini tak disia-sia kan oleh pemburu berita. Tapi tanpa rasa malu Johan
mengakui semuanya, bahkan ia terang-terangan melamar Hawa di depan awak media
dan ditonton berjuta-juta masyarakat dalam wawancaranya secara ekslusif.
Keadaan
Jihan semakin kritis, semua kini bertambah cemas dan was-was dibuatnya.
“Nek…”
panggil Jihan. Neneknya pun mendekatkan telinganya di dekat bibir Jihan.
“Jihan
minta kalian berjabat tangan.” Ucap nenek Jihan yang sekaligus ibu Hawa. Johan
mengulurkan tangannya tapi Hawa mengacuhkannya. Jihan kejang dan dengan segera
Hawa menggandeng tangan Johan dan menunjukan genggamannya di depan Jihan.
“Mama
sudah besalaman dengan papa nak.” Ucap Hawa.
“Nek…” Jihan memanggil neneknya
untuk kedua kalinya. Dan ia berbisik kepada neneknya.
“Jihan minta kalian tuk menikah.”
Ucap ibu Hawa.
Hawa
melihat Johan, Johan menganggukan kepalanya dan secepat mungkin ia berlari
mencari orang yang dapat menikahkan mereka, setengah jam kemudian Johan datang
bersama seorang penghulu, Ayahnya, seorang teman dan dokter sebagai saksi.
Pernikahan sederhanapun dilakukan di kamar inap dengan segala keterbatasan yang
ada.
Setelah
ijab Kabul terjadi, Jihan tersenyum bahagia melihat kedua orang tuanya bersatu
kembali. Mesin rekam jatung dan otak terhenti. Semua yang ada dalam ruangan
tersebut itu menangis. Hawa menangis tergugu. Satu hal yang dapat dipastikan,
Jihan meninggal dengan sebuah senyuman yang damai dan bahagia karena telah
melihat orang tuanya bersatu dalam ikatan yang suci.
Hawa bersyukur karena ia tak pernah
berniat tuk mengaborsi Jihan, malaikat kecil yang Tuhan kirim untuknya. Ia
lebih memilih mengaborsi Johan dalam hatinya meski akhirnya kini ia telah
bersatu kembali dengan Johan.
oooOooo
0 komentar:
Posting Komentar