Social Icons

Sabtu, 29 September 2012

Hawa


Awan gelap yang menghiasi langit mulai merapat, setitik air perlahan jatuh satu persatu. Membuat kecemasan sebagian orang. Kecemasan itu juga yang menghampiri Hawa, gadis manis itu berlari mencari tempat tuk berlindung dari tetesan air hujan. Ia berlari kecil dan melindungi tangannya dengan kedua tanggannya. Dengan sangat tergesa-gesanya sampai ia tak sadar di depannya berdiri seorang lelaki tegap. Dan seketika itu tubuh Hawa jatuh, setelah benturan kecil terjadi antara Hawa dan lelaki itu.

Hawa tersungkur, “Aw…!” eluhnya.
Dengan sigap lelaki itu pun menolong Hawa, ia mengulurkan tangannya, dan hawa hanya menatapnya, tanpa menyambut uluran tangan lelaki itu. Hawa berdiri kemudian ia berlalu tanpa mengucap satu kata pun.
“Cewek aneh!” gerutu lelaki itu. Dan ia menjalani aktifitasnya kembali.
Dua hari kemudian Hawa berjalan dengan santai sambil mendendangkan sebuah lagu, ketika ia akan melewati tikungan ia hampir bertabrakan lagi dengan seseorang. Hawa memandangi lelaki itu sepertinya ia pernah bertemu, memori pikirannya seketika itu berputar. Ya, ia adalah lelaki yang ia tabrak.
Lelaki itu tersenyum. “Hai… mau menabrakku lagi?”
Hawa tersenyum kecut, “Maaf!”
“Johan,” lelaki itu mengulurkan tangannya.
“Hawa…” sambut Hawa, dengan menjabat tangan lelaki itu.
“Kamu kulia di sana?” Johan menunjuk sebuah universitas yang tak jauh dari tempat mereka.
“Ya, kamu juga kulia disana?” Tanya Hawa.
“Tepat, aku masuk falkutas hukum.”
“Pantas, aku tak pernah melihat kamu, aku ambil kedokteran.”
“Kita ngobrol di kafe yuk, itung-itung aku minta maaf ama kamu. Itu pun kalo kamu ada waktu.” Ajak Johan.
“Tapi maaf, aku sebentar lagi ada kelas, gini aja berapa nomor HP kamu nanti aku hubungi, kan yang salah aku jadi harusnya aku yang traktir kamu.”
Johan tersenyum, “Ya sudah, nggak apa-apa. Kamu jalan ge sana.” Dan ia beranjak pergi.
“Loh? Kug kamu pergi siy, marah ya? Berapa nomor HP kamu?” Tanya Hawa dengan terheran-heran.
“Aku nggak marah, kalau kita jodoh pasti kita bertemu lagi.” Teriak Johan dari kejauhan.
“Kalau kita jodoh pasti kita ketemu lagi.” Ulang Hawa dengan beribu tanya di benaknya. Ia pun berlalu melenggang dengan santai di jalan.
Sehari, seminggu dan sebulan…. Hawa tak pernah berjumpa dengan Johan. Dalam hati kecil keduanya sebenarnya mengharap tuk dipertemukan. Dan hari yang mereka anggan-anggankan pun terjadi. Tepat di acara ulang tahun kampus tempat mereka kuliah, mereka di pertemukan kembali oleh takdir.
“Hawa…?” sapa Johan.
“Jo… Johan, hai.” Hawa senang sekaligus terkejut mendapati Johan ada di disampingnya.
“Jalan yuk disini berisik.” Ajak Johan.
“Okey.”
Dari sana mereka makan di café tak jauh dari kampus, hari itu banyak sekali yang mereka bicarakan. Rupanya mereka punya pikiran sejalan, mereka bercerita tentang cita-cita mereka kelak, dan satu sama lain saling mendukung.
Perlahan benih-benih cinta muncul di antara mereka, dan kisah percintaan mereka seindah cerita di dalam novel romantic atau telenovela. Hampir tiap harinya mereka lewati berdua, Johan sering main ke tempat Hawa kost. Rupanya cinta suci di antara mereka tak sanggup untuk melawan hawa nafsu diri mereka. Dan sekarang dalam perut Hawa tumbuh buah cinta dari Johan.
Fajar yang indah tak sanggup mempesona diri Hawa dan Johan, kini mereka di hinggapi rasa takut, tak ada tawa dan canda seperti biasanya. Semuanya diam membisu. Gurat kecemasan sangat ketara di wajah mereka.
“Sekarang aku harus bagaimana?” Tanya Hawa kepada Johan memecahkan keheningan di antara mereka. Tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Johan. “Kita harus menikah.” Sambung Hawa.
“Menikah? Tidak sekarang,” jawab Johan.
“Lalu kapan? Kapan? Apa sampai perutku ini membesar dan bayi ini lahir?” Hawa mulai emosi.
“Aku masih sekolah, dan setelah ini juga aku akan langsung meneruskan S-2 ku di luar negeri. Aku ingin menjadi politisi hebat Hawa, kau tahukan itu. Dan kau, bukannya kau ingin menjadi seorang dokter? Tinggal dua tahun lagi kau akan menjadi dokter, dan aku juga akan menata karirku, ini semua juga demi kebaikan kita bersama Hawa. Untuk masa depan aku dan kamu.” Keduanya terdiam, “Kamu lakukan aborsi saja!” sambung Johan.”
“Apa? Aborsi katamu? Tidak aku tidak mau aborsi. Baik kalau memang buatmu karirmu lebih penting aku tak akan pernah datang dan menghambat karirmu.” Tegas Hawa. Ia mulai berdiri hendak meninggalkan Johan.
“Hawa… kita bicarakan ini semua baik-baik.” Johan menahan Hawa.
“Apa lagi yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. KAU TAK MENGINGINKAN ANAK INI..!!!”
“Bukan itu maksudku, tapi sekarang keadaannya tidak tepat Hawa. Aku sangat mencintamu, tapi aku juga ingin menata masa depanku Hawa.”
“Silahkan kau menata masa depanmu, aku tak akan menghalangimu.” Dengan kesal Hawa meninggalkan Johan dalam kesendiriannya.
“Hawa… Hawa… Hawa…!” teriak Johan sekeras-kerasnya namun Hawa tak sedikitpun menoleh kepada Johan.
Hilang… itulah yang dirasakan Johan semua kini terasa hampa. Hawa menghilang entah kemana. Berhari-hari Johan mencari keberadaan Hawa tak satupun orang tahu dimana Hawa berada. Johan merasa bersalah dan sangat menyesal. Tapi semua itu sudah menjadi pilihannya.
Hawa pulang kerumah orang tuanya, ada rasa takut yang teramat besar hinggap di dirinya, Hawa sangat sayang kepada ibunya karena memang hanya ibunya lah orang tua Hawa satu-satunya. Ayah Hawa meninggalkan Hawa ketika ia masih berumur dua tahun. Bahkan mungkin wajah ayahnya pun tidak ia ingat.
Dengan segenap keberanian yang ia miliki, Hawa mencoba bercerita tentang keadaannya saat ini, ia menceritakan semua kejadian yang ia lakukan bersama Johan, tentu hati ibu siapa yang tak hancur mendengar kabar bahwa anaknya hamil di luar nikah.
“Kau menginginkannya atau tidak?” Tanya ibu Hawa. Hawa hanya menangis. “Kau menginginkan anak itu apa tidak?” ulang Ibu Hawa.
“Aku masih ingin melanjutkan sekolahku bu, aku ingin menjadi dokter.” Jawab Hawa.
“Kau menginginkannya apa tidak.” Tegas ibu Hawa.
“Aku… aku… aku tidak bisa bu, aku masih ingin mengejar impianku.” Isak tangis Hawa semakin kencang.
“Yang ibu tanya kau mengingikannya atau tidak?”
“Aku tidak yakin aku bisa membesarkannya seorang diri bu.”
“Lihat ibu nak, ibu bisa membesarkan kau seorang diri tanpa ayahmu. Saat kau berusia dua tahun ayahmu meninggalkan ibu demi wanita lain. Dan saat itu juga ibu telah bertekad tuk membesarkan kau seorang diri dan kau lihat sekarang, ibu bisa membesarkanmu, kau harus yakin. Ada ibu yang akan menjagamu dan cucu ibu.” Dengan berlinang air mata ibu Hawa memeluk anaknya.
Hawa membenarkan ucapan ibunya, kini ia bertekad akan mempertahankan buah hatinya dan membesarkannya seorang diri. Malam harinya Hawa menghubungi Johan. Terdengar suara sambungan ke nomor Johan.
“Hallo…” terdengar suara Johan di seberang sana.
“Johan..” Hawa memanggilnya.
“Hawa… kemana saja kau, aku mencarimu. Aku ingin berbicara denganmu, aku ingin bertemu denganmu.” Sangat jelas kecemasan Johan lewat suaranya.
“Lanjutkan mimpimu, aku tak kan menghalangi mimpimu lagi.”
“Tidak Hawa, aku ingin bertemu denganmu.”
“Aku akan menemuimu, jika nanti kau menjadi seorang pejabat yang sukses, aku yakin kau bisa.” Hawa langsung menutup telponnya. Ia menangis dalam kesendiriannya.
Hamil tanpa suami, itu tak mudah, Hawa harus mendapati gunjingan setiap orang, ia harus merasakan penderitaan itu seorang diri, semua orang mengangapnya sebagai cewek murahan.
Senista itukah wanita? Kenapa hanya wanita yang dianggap murahan? Apa pernah mereka memandang lelaki yang telah mengahamili seorang perempuan sebagai lelaki murahan, tentu tidak, hanya wanitalah yang di anggap murahan, tak punya harga diri, tak tahu malu, cewek gatel. Dan yang pada akhirnya wanita lah yang paling menderita.
Hawa tak menghiraukan semua itu ia terus berlalu mendengan gunjingan dari semua orang tentang dirinya. Ia terus melanjutkan studynya, ibunya selalu ada buat Hawa dan mendukung Hawa, sehingga Hawa seperti mendapat suntikan enegi dari sang ibu. Tak terasa hari yang dinanti itupun tiba. Hawa melahirkan, dan kini ia menjadi seorang ibu.
“Nyonya ini anak anda.” Seorang suster mendekati Hawa dan memberikan seorang bayi yang di bungkus rapat dengan kain berwarna merah mudah. “Anaknya cantik seperti nyonya. “Lanjut sester tersebut.
“Terima kasih sus.” Hawa menimang buah hatinya. Ia memandangi wajah bayi itu. Ada sebuah perasaan yang menggetarkan hatinya meliat bayi itu. Mata yang di miliki bayi itu persis seperti mata Johan.
“Mau kau beri nama siapa anak ini?” Tanya ibunya.
“Jihan…!”
“Nama yang bagus.”

* * *
Hawa kini telah menjadi seorang ibu dan usia Jihan sudah beranjak dua tahun, Hawa merasa bahagia karena diberikan seorang anak seperti Jihan, anak yang seperti malaikat. Hari-hari Jihan dihabiskan bersama neneknya jika Hawa sedang bekerja tak jarang juga Hawa mengajak Jihan jalan-jalan bersama ibunya. Namun kebahagiaan Hawa tak lama karena ia mendapati kejanggalan pada diri Jihan. Ia pun memeriksa keadaan Jihan lebih dalam lagi. Kangker? Jawaban itu yang ia dapati.
Merasa tidak yakin dengan hasil tesnya sendiri, ia memeriksakan Jihan ke dokter spesialis. Dan hasil yang lebih mengejutkan pun ia dapati.
“Anak anda terserang Leukemia limfositik akut (LLA). Merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Anda tentu paham kan?” Dokter Erik memberikan pengertian kepada Hawa. “Di kasus ini Penderita Down Syndrom memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal. Anak anda tidak bisa bertahan lama, anak kecil yang mengidap penyakit ini tidak bisa bertahan sampai dua belas tahun.”
Mendengar pernyataan itu Hawa merasa tubuhnya sangat lemas. Ia ingin berteriak sekencang-kecangnya. Tapi ia sadar untuk apa ia berteriak toh semua itu tak bisa membuat buah hatinya terbebas dari penyakit yang mematikan.

* * *
Sepuluh tahun kemudian…
“Jihan ayo makan sayang!” bujuk neneknya.
Jihan menutup selimutnya. “Aku nggak mau makan itu. Itu nggak enak aku mau yang pedas.” Renggek Jihan.
“Ayo Jihan, makan, ini enak.” Bujuk neneknya untuk yang kesekian kalinya.
Sampai ibunya pulang Jihan tetep tidak mau makan.
“Hawa, Jihan tak mau makan.” Ibunya mengadu kepada Hawa. Hawa mendekati anaknya.
“Jihan, ini enak, lihat ibu.” Hawa memakan bubur buatan ibunya yang memang makanan itu hanya untuk orang sakit dan rasanya hambar. “Enak, bu ambilkan satu mangkok untukku.” Pinta Hawa. “Ayo makan sayang ini benar-benar enak.”
“Tidak ma… Jihan nggak mau makan. Jihan Cuma mau makan ayam goreng. Cepat ambilkan nek. Atau Jihan ngamuk.”
Hawa mengetahui jika emosi Jihan bisa mempengaruhi kesehatannya maka Hawa pun mengiyakan permintaan Jihan, yang sebenarnya buruk juga bagi kesehatannya.
“Ini…” neneknya memberi sepiring  nasi dengan ayam dan sausnya.
Hawa hanya dapat melihat makanan itu ada di pangkuan putri tercintanya. Jihan mulai untuk mengangkat sendoknya dan akan memasukkannya kedalam mulutnya, itu adalah pemandangan paling meyiksa bagi Hawa. Tapi tiba-tiba sendok itu berada di depan mulut Hawa.
“AAkkkk… ayo mama makan. Buka mulut mama.” Jihan menyuapi Hawa. Hawa pun membuka mulutnya dan menguyah nasi dari tangan anaknya. “Jihan akan makan buburnya, dan mama makan nasinya.” Jihan mengambil bubur dari tangan mamanya dan menukarnya dengan nasi dan ayam dalam piring Jihan. “Bubur ini kan makanan rumah sakit dan hanya orang sakit yang makan bubur ini. Kenapa mama berkoban untukku, kenapa mama selalu makan bubur ini dan bilang enak? Padahal buburnya sama sekali nggak enak, Jihan nggak mau lihat mama seperti ini. Jihan janji Jihan akan makan bubur kok ma.” Mendengar perkataan ankanya Hawa menitikan air mata, dan ia cepat keluar dari kamar Jihan. Hawa tidak ingin Jihan melihat air matanya.
Di pagi yang cerah, Jihan berdebar-debar, karena hari ini adalah hari pengumuman siapa yang akan menerima juara atas lomba karya ilmiah. Jihan masuk sepuluh besar.
“Ma, doain Jihan ya biar menang?” ucapnya setelah berpamitan.
“Iya sayang, doa mama selalu bersamamu.” Jawab Hawa. Teman-teman Jihan datang dan dengan senang hati mendorong kursi roda Jihan, sejak setengah tahun lalu Jihan telah mengalami kelumpuhan, ia harus duduk di kursi roda dan yang paling menyedihkan adalah rambutnya mengalami kerontokan hingga sekarang kepala Jihan botak.
Johan kini telah menjadi anggota DPR yang tengah naik daun, namanya di eluh-eluhkan sebagai calon Presiden berikutnya. Dan hari ini menghadiri acara di sekolah SD Harapan Baru. Yang kebetulan adalah sekolah Jihan.
“Dan juara satu untuk lomba karya ilmiah ini adalah… Jihan Pratiwi.” Ucap Johan.
Jihan tersenyum, teman-temannya memberikan semangat untuknya, dan salah satu temannya membantunya maju ke depan dengan kursi rodanya. Johan terpanah melihat Jihan. Mendapati keadaan Jihan yang tampak tak berdaya namun tetap bersemangat menjalani hidupnya.
Johan menyerahkan pialanyanya,”Selamat ya!” ucapnya.
“Terima kasih Pak!” Jihat tersenyum.
Diruang kepala sekolah Johan meminta untuk bertemu dengan Jihan, tak lama kemudian Jihan datang. Johan masih terperangah dengan keadaan Jihan.
“Ada apa pak, anda memanggil saya?” ucap Jihan.
“Saya ingin memberi hadiah untukmu, katakana apa yang kau inginkan?” tawar Johan.
“Untuk saat ini aku belum ingin sesuatu, aku pikir-pikir lagi ya hadiah apa yang akan aku minta dari anda.” Jawab Jihan.
Johan tersenyum, “Baik kalau begitu saya harus pergi.” Pamit Johan. “Saya tunggu jawaban kamu.” Sambil tersenyum. Ia melangkah pergi keluar ruangan.
“Pak, mau menjadi temanku?” Kata Jihan. Johan menoleh, dan mengangukkan kepalanya. Jihan membalasnya dengan senyuman. Johan adalah idola Jihan karena menurutnya Johan berbeda dengan para politisi yang lain, ia pintar dan merakyat.
Malam harinya Jihan belum tidur juga, akhirnya ia memutuskan untuk membuka facebook dan menghubungi Johan. Lalu ia mulai mengetik.
Hai, teman. (Jihan)
Hai, juga teman. (Johan)
Aku sudah memutuskan hadiah yang akan aku minta. (Jihan)
Sebutkanlah. (Johan)
Aku males ngetik pake webcam aja ya teman.(Jihan)
Johan dan Jihan mulai online menggunakan webcam.
“Sebutkanlah apa yang kau mau.” Kata Johan.
“Baik, Jihan ingin pergi seharian bersama bapak.” Jawab Jihan.
“Tapi kemana?” Johat terlihat agak bingung.
“Terserah bapak. Kapan bapak bisa jalan-jalan?” Tanya Jihan.
Di tengah pembicaraan antara Jihan dan Johan, Hawa bermaksud untuk memberi Jihan susu, ia memanggil anaknya itu. Dan seperti di sengat oleh petir, karena Hawa mendapati Jihan berbicara di wabcam bersama Johan, ayah kandungnya. Untung Hawa belum menampakkan dirinya di kamera, sehingga Johan masih tidak mengetahui jika Jihan adalah anak Hawa dari buah cinta bersama Johan.
“Baik sepakat ya tanggal 25.” Ucap Jihan. “Aku ngantuk, udahan dulu ya teman!” lanjut Jihan. Jihan mematikan komputernya dan masuk ke kamar. Hawa menyusulnya.
“Minum susu dulu sayang.” Hawa membawa segelas susu untuk Jihan.
“Ya, ma.” Jawab Jihan.
“Jihan tadi bicara dengan siapa?” Tanya Hawa.
“Dengan Pak Johan. Tadi di sekolah, Jihan menang lomba ma. Dan yang memberikan pialanya adalah pak Johan. Nggak salah Jihan mengidolakan pak Johan karena selain dia baik, pintar, dia juga tampan ma. Kira-kira papa Jihan, tampan seperti pak Johan tidak ma?”
Hawa menahan air matanya. “Jihan tidur ya. Sudah malam. Good nite!” Hawa mencium kening Jihan. Kemudian berbalik dan keluar dari kamar Jihan.
Di kamar, Hawa menangis, hatinya seperti teriris, gambaran masa lalupun kini terbayang lagi dimatanya setelah sekian tahun ia menguburnya dalam-dalam. Tanpa ia sadari ibunya masuk ke dalam kamar Hawa.
“Sudah saatnya kau harus jujur.” Ibu Hawa angkat bicara.
“Untuk apa bu? Ia tak pernah menginginkan Jihan. Percuma juga Hawa harus jujur kepada Jihan tentang siapa ayahnya, itu hanya melukai hatinya saja bu.” Dengan air mata yang tengah mengalir Hawa menentang perkataan dari ibunya.
“Kamu tak bisa membohonginya seperti ini, ingat Jihan tak bisa bertahan lama. Kamu mau seumur hidup Jihan tak mengenal ayahnya? Nak kamu sudah dewasa, kesampingkan ego dan sakit hatimu demi anakmu sendiri, demi Jihan.”
“Bu, Johan tak pernah menginginkan adanya Jihan. Dan seandainya aku memberi tahu Jihan tentang semuanya lalu ia minta bertemu dengan ayahnya. Dan Johan tak mengakui Jihan, coba ibu pikir bagaimana perasaan Jihan Bu!” kini isak tangis bertambah keras.
Tanpa mereka sadari semua percakapan yang terjadi antara Hawa dan ibunya, semua di dengar oleh Jihan. Dan kini ia tahu semua rahasia yang disimpan rapat oleh nenek dan ibunya.

* * *

Jihan bangun lebih pagi dari biasanya, Karena ia hari ini telah akan menghabiskan waktu bersama Pak Johan, ayah kandungnya. Semua telah ia persiapkan. Ia pun kini tengah menikmati sarapan bersama ibu dan neneknya.
“Jihan, hari ini kenapa kamu nggak berpakaian seragam nak?” Tanya Hawa.
“Hari ini Jihan tidak masuk sekolah ma, Jihan akan jalan-jalan bersama pak Johan.” Jawab Jihan polos.
“Tidak, kamu harus tetap sekolah.” Perkataan Hawa sedikit marah.
“Biarlah, biar Jihan bisa menyegarkan pikirannya Hawa. Ijinkan dia untuk pergi.” Sahut ibu Hawa.
“Bener nek.!” Jihan tampak kegiragan.
“Tapi bu…” protes Hawa.
“Sudahlah, percaya dengan ibu.” Ibu Hawa meyakinkannya.
Hawa akhirnya menyerah. Ia mulai duduk santai di meja makan dan mengabil, sepotong roti lalu ia olesi dengan selai coklat.
“Ma, menurut mama pak Johan Ganteng tidak?” Tanya Jihan kepada Hawa.
“Biasa.” Jawab Hawa singakat.
“Jihan suka dengan pak Johan, mama juga suka nggak?”
Hawa yang saat itu sedang mengunyah roti menjadi tersedak.
“Ma… mama nggak apa-apa kan?” Tanya Jihan yang cemas melihat keadaan mamanya.
Air muka Hawa seketika itu memerah. Setelah ia minum air putih ia langsung berpamitan tuk pergi ke rumah sakit.
“Bu, titip Jihan.” Hawa pamit kepada ibunya.
Satu jam kemudian Jihan di jemput oleh pengawal Johan. Ia seharian itu diajak berkeliling mengunjungi banyak tempat, Johan pun dengan senag hati rela menggendong Jihan. Semakin Johan berlama-lama bersama Jihan ia semakin mengagumi Jihan, ia banyak belajar dari Jihan. Ia merasa beruntung bisa bertemu Jihan, yang dapat mengubah pandangan hidupnya. Sebelum pulang Johan mengajak Jihan untuk makan malam.
“Aku mau pesan es krim, dan makan ayam bakar!” pinta Jihan.
“Maaf, bukannya kamu sakit?” Johan mencoba mengingatkan Jihan.
“Tidak apa-apa, ini Jihan langsung minum obat penawar jadi tidak aka nada masalah.” Jihan tersenyum.
“Begitu. Baiklah.”
“Bapak mau tahu tidak, aku tahu sebuah kesalahan bapak di masa lalu?”
Johan terheran-heran mendengar perkataan dari jihan. “Kesalan masa lalu? Apa kesalahanku katakan lah?”
“Wah…, rupanya makanannya sudah matang, kita makan dulu yuk pak.” Ajak Jihan.
Johan pun mengiyakannya untuk makan terlebih dahulu, selesai makan ia, bertanya lagi kepada Jihan tentang kesalahnya, dan Jihan pun menghindar dengan alasan ‘nanti di mobil saja, bapak kan orang terkenal nanti takut ada yang dengar bapak jadi malu,’. Sesampainya di mobil Jihan tak berbicara sepatah katapun. Malah ia tertidur. Johan melihatnya dengan iba, anak sekecil itu harus menanggung rasa sakit yang teramat.
Johan dan Jihan sampai di rumah Hawa. Johan memutuskan tuk mengendong Jihan, karena ia tak tega tuk membangunkan Jihan, ia berjalan memasuki halaman rumah Hawa. Bel rumah berbunyi, begitu pintu terbuka, terlihat jelas wajah Hawa di depan Johan. Ke duanya terperangah sesaat.
“Hawa?” Johan kaget mendapati Hawa.
“Berikan Jihan padaku.” Pinta Hawa.
“Kamu, ini anak siapa?” Tanya Johan.
“Tak penting buatmu ini anak siapa?”
“Katakanlah!”
“Berikan dia padaku!”
“Katakan terlebih dahulu dia anak siapa Hawa.”
“Ku mohon berikan ia padaku.”
Tiba-tiba tubuh Jihan mengalami kejang-kejang, Johan dan Hawa panik, ia segera membawa Jihan ke rumah sakit, di tengah jalan, Hawa menangis, ia sangat takut kehilangan anaknya. Ia takut kehilangan Jihan, karena ia tahu Jihan tak kan bertahan lebih lama lagi. Jihan langsung masuk ke IGD. Hawa tak bisa menghentikan air matanya. Ia berdoa terus menerus.
Tak lama dokter keluar dan mengijinkan pihak keluarga untuk menemani pasien yang masih terbaring lemah.
“Jihan, bangun sayang, mama ada di sini.” Hawa memegangi tangan Jihan. “Jihan… bangun sayang.” Wajah Hawa terlihat sangat pilu, melihat anaknya terkulai lemas tak berdaya.
Johan hanya bisa terdiam melihat Hawa menangis, karena ia tahu saat ini Hawa masih marah kepadanya, ia lebih memilih diam dan hanya memperhatikannya dari jauh agar tidak memperburuk keadaan. Beberapa menit kemudian, seorang dokter baruh baya masuk ke dalam ruangan.
“Ibu Hawa, bisa ikut ke ruangan saya sebentar?” kata dokter itu. Tanpa bicara apa pun Hawa langsung berdri dan mengikuti langkah dokter itu.
Johan duduk di kursi samping pembaringan. “Hai teman, bangunlah. Mamamu sangat mencemaskan keadaanmu.” Johan memegangi tangan Jihan. Entah suatu keajaiban atau mukjizat, seketika itu jari-jari Jihan bergerak dan perlahan ia sadar kembali. “Jihan, kamu sadar.”
Jihan melihat senyum Johan. “Mama, mana?” Tanya Jihan.
“Mama sedang keluar sebentar, ada apa?”
“Aku senang bapak ada disini.”
“Bapak juga senang bisa menemanimu.”
“Kesalahan bapak di masa lalu adalah aku.”
“Apa?”
“Kesalahan bapak adalah aku.”
Entah perasaaan apa yang sedang menggelayuti hati Johan di sisi lain ia senang bertemu dengan putrinya dan disisi lain ia sedih mendapati putrinya terkapar tak berdaya.
“Berjanjilah satu hal denganku, jangan bapak buat kesalahan tuk kedua kalinya, mama sangat mencintai bapak.” Dengan sisa kelemahan yang ada Jihan bisa menggengam erat tangan Johan.
“Jihan… kamu tidak apa-apa kan.” Terlihat nenek Jihan yang tampak cemas.

* * *
Karena Johan merupakan salah satu anggota DPR yang sangat dikenal oleh publik maka berita ini tak disia-sia kan oleh pemburu berita. Tapi tanpa rasa malu Johan mengakui semuanya, bahkan ia terang-terangan melamar Hawa di depan awak media dan ditonton berjuta-juta masyarakat dalam wawancaranya secara ekslusif.
Keadaan Jihan semakin kritis, semua kini bertambah cemas dan was-was dibuatnya.
“Nek…” panggil Jihan. Neneknya pun mendekatkan telinganya di dekat bibir Jihan.
“Jihan minta kalian berjabat tangan.” Ucap nenek Jihan yang sekaligus ibu Hawa. Johan mengulurkan tangannya tapi Hawa mengacuhkannya. Jihan kejang dan dengan segera Hawa menggandeng tangan Johan dan menunjukan genggamannya di depan Jihan.
“Mama sudah besalaman dengan papa nak.” Ucap Hawa.
“Nek…” Jihan memanggil neneknya untuk kedua kalinya. Dan ia berbisik kepada neneknya.
“Jihan minta kalian tuk menikah.” Ucap ibu Hawa.
Hawa melihat Johan, Johan menganggukan kepalanya dan secepat mungkin ia berlari mencari orang yang dapat menikahkan mereka, setengah jam kemudian Johan datang bersama seorang penghulu, Ayahnya, seorang teman dan dokter sebagai saksi. Pernikahan sederhanapun dilakukan di kamar inap dengan segala keterbatasan yang ada.
Setelah ijab Kabul terjadi, Jihan tersenyum bahagia melihat kedua orang tuanya bersatu kembali. Mesin rekam jatung dan otak terhenti. Semua yang ada dalam ruangan tersebut itu menangis. Hawa menangis tergugu. Satu hal yang dapat dipastikan, Jihan meninggal dengan sebuah senyuman yang damai dan bahagia karena telah melihat orang tuanya bersatu dalam ikatan yang suci.
Hawa bersyukur karena ia tak pernah berniat tuk mengaborsi Jihan, malaikat kecil yang Tuhan kirim untuknya. Ia lebih memilih mengaborsi Johan dalam hatinya meski akhirnya kini ia telah bersatu kembali dengan Johan.
oooOooo

0 komentar:

Posting Komentar